Ketika Data Jadi Mata Uang Baru: Menakar Perlindungan Data di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Australia

perlindungan data

| “Di era digital, kita membayar dengan data, bukan uang. Tapi apakah negara kita tahu cara menjaganya?”

Sebuah Kesadaran yang Terlambat

Bayangkan seseorang mencuri dompet Anda di jalanan Jakarta. Respon kita bisa spontan: lapor polisi, blokir kartu, bahkan mengumumkannya di media sosial. Tapi bagaimana bila yang dicuri adalah data pribadi Anda—nomor KTP, riwayat kesehatan, lokasi anak Anda setiap hari? Di sinilah masalah besar muncul: banyak dari kita bahkan tidak menyadari bahwa itu sebuah kejahatan.

Indonesia baru memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada 2022, saat sebagian besar negara tetangga kita telah melangkah jauh sebelumnya. Bahkan setelah UU disahkan, sebagian besar warga masih belum memahami: apa itu data pribadi, kenapa penting, dan bagaimana seharusnya negara melindunginya?

Untuk menjawab ini, kita perlu melihat ke luar. Ke Malaysia. Ke Singapura. Ke Australia. Tapi bukan hanya lewat kacamata hukum. Kita juga perlu melihat lewat lensa budaya, pendidikan, dan karakter masyarakat. Karena hukum tanpa kesadaran sosial hanya akan menjadi teks kosong.

Malaysia: Aturan Lama, Nafas Pendek

Malaysia mungkin terdengar selangkah di depan—PDPA (Personal Data Protection Act) sudah mereka miliki sejak 2010. Tapi ironisnya, selama lebih dari satu dekade, UU itu seperti “singa tua yang tak lagi menggigit.” Penegakan hukumnya lemah. Banyak kasus pelanggaran tidak pernah sampai ke pengadilan.

Di negara ini, data kerap diperlakukan seperti komoditas dagang yang lazim dijual oleh perusahaan e-commerce, bahkan instansi pemerintah. Budaya ‘tak enakan’ dan struktur sosial yang hierarkis membuat masyarakat ragu melaporkan pelanggaran. Seringkali mereka berpikir, “Ya sudahlah, cuma nomor HP saja.”

Padahal nomor HP itu bisa membuka pintu ke rekening, riwayat pinjaman, hingga keamanan keluarga. Tapi belum ada pendidikan yang cukup kuat di Malaysia untuk membuat rakyatnya peduli hingga ke level itu.

Singapura: Ketika Privasi Jadi Warga Negara Kelas Satu

Berbeda dengan Malaysia, Singapura mengambil pendekatan strategik dan sistemik terhadap privasi sejak awal. Pemerintahnya sadar: kepercayaan digital adalah fondasi ekonomi masa depan.

Pasca kasus peretasan rumah sakit nasional SingHealth pada 2018, di mana data lebih dari 1,5 juta pasien dicuri, pemerintah tidak sekadar meminta maaf. Mereka menjatuhkan sanksi keras ke internal, memperbaiki arsitektur keamanan nasional, dan—yang terpenting—memperkuat literasi data dari sekolah dasar.

Hari ini, di Singapura, anak-anak 10 tahun bisa menjelaskan mengapa kita tak boleh sembarang membagikan foto atau nama lengkap di internet. Bukan karena mereka takut, tapi karena mereka paham bahwa data adalah bagian dari identitas mereka.

Di sekolah, universitas, hingga tempat kerja, pelatihan privasi dan etika digital menjadi kewajiban. Perlindungan data bukan semata regulasi, melainkan kebudayaan kolektif.

Australia: Privasi Sebagai Hak Sipil dan Etika Publik

Australia bukan hanya punya regulasi yang kuat—13 prinsip utama dalam Australian Privacy Principles (APPs)—tetapi juga sebuah sistem yang menganggap pelanggaran data sebagai pelanggaran HAM.

Mereka punya Office of the Australian Information Commissioner (OAIC) yang independen, tajam, dan transparan. Setiap insiden kebocoran data wajib diumumkan maksimal 72 jam setelah kejadian. Tidak ada kompromi.

Baca Juga :  5 Cara Yang Harus Diperhatikan Entrepreneurs Untuk Bertahan Dari Serangan Hacker

Budaya masyarakat Australia juga memainkan peran besar. Sebagai bangsa yang individualistik, warga Australia sangat peduli terhadap ruang pribadi, termasuk data digital mereka. Privasi dianggap bagian dari martabat manusia. Pendidikan pun mendukungnya—sejak usia dini, anak-anak diajarkan untuk mengenali potensi penyalahgunaan data dan cara mencegahnya.

Kombinasi regulasi, kesadaran publik, dan infrastruktur hukum yang kuat menjadikan Australia salah satu negara paling serius dalam perlindungan data pribadi di dunia.

Indonesia: Antara Ambisi dan Kenyataan

Indonesia baru memiliki UU Perlindungan Data Pribadi pada 2022. Tapi dalam banyak hal, kita masih bertanya-tanya: siapa yang sebenarnya melindungi kita? Sampai hari ini, belum ada otoritas independen layaknya OAIC di Australia atau PDPC di Singapura. Semua masih ditangani oleh Kementerian Kominfo—lembaga yang justru beberapa kali terkena skandal kebocoran data.

Masalah utama Indonesia bukan sekadar “kekurangan aturan”, tetapi kekurangan kesadaran. Di masyarakat, nomor KTP dan KK dianggap enteng. Penjual data marak di media sosial. Bahkan program pemerintah seperti bansos dan vaksinasi sering meminta data lengkap tanpa penjelasan soal perlindungan atau penyimpanan.

Sebagian warga mungkin tak peduli karena terbiasa hidup kolektif—“semua orang tahu semua hal tentang kita.” Namun dalam dunia digital, ini bisa berujung pada bencana: penipuan, pemalsuan identitas, hingga peretasan massal.

Budaya dan Demografi: Mengapa Indonesia Rentan

tabel skema perlindungan data
Tabel Skema Perlindungan Data

Di Indonesia, keberagaman demografi dan ketimpangan digital membuat kesenjangan literasi sangat besar. Apa yang dipahami oleh warga Jakarta tak sama dengan di pedalaman Kalimantan. Inilah tantangan besar yang harus diakui jika kita benar-benar ingin melindungi seluruh rakyat.

Mengapa Ini Bukan Sekadar Masalah Hukum

Banyak negara membuat undang-undang. Tapi hanya sedikit yang mampu mengubah kesadaran kolektif. Karena pada akhirnya, perlindungan data bukan semata soal pasal dan sanksi, melainkan soal:

  • Budaya menghormati privasi,

  • Etika dalam pengumpulan dan penyimpanan informasi, dan

  • Kebijakan yang berpihak pada rakyat, bukan korporasi.

Refleksi untuk Indonesia: Haruskah Kita Takut atau Bertindak?

Jika Indonesia terus memandang data sebagai urusan teknis, kita akan selalu tertinggal. Kita butuh lompatan budaya: menjadikan perlindungan data sebagai bagian dari martabat nasional.

Kita perlu mengajarkan anak-anak bahwa membagikan lokasi rumah di media sosial bukan hanya soal “seru-seruan”, tapi potensi ancaman. Kita perlu sekolah yang mengajarkan bagaimana menyimpan data pribadi dengan aman, dan kantor pemerintahan yang meminta data dengan etika dan transparansi.

Penutup: Masa Depan Dimulai Hari Ini

Perlindungan data bukan untuk hari ini. Ia adalah jembatan untuk masa depan digital yang adil, aman, dan berdaulat. Indonesia tidak kekurangan aturan. Tapi kita kekurangan keberanian untuk menjadikannya nyata.

Jika Singapura bisa melakukannya lewat pendidikan, dan Australia lewat penghormatan hak sipil, Indonesia harus melakukannya lewat kesadaran bahwa data adalah hak hidup manusia modern.

Karena jika hari ini kita tidak peduli bagaimana data kita dijual dan disalahgunakan, maka suatu hari kita akan menyadari bahwa seluruh hidup kita telah dijadikan komoditas—tanpa izin, tanpa kendali, dan tanpa harga diri.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x