Belanja online tumbuh kian pesat, terutama sekarang karena adanya pengiriman dan retur (pengembalian) gratis yang sudah menjadi hal yang lumrah. Dengan fasilitas tersebut, Anda dapat memesan sejumlah model pakaian yang sama, lalu mengembalikannya ke penjual jika tidak menginginkannya tanpa mengeluarkan biaya.
Meskipun banyak barang yang dikembalikan kemungkinan rusak atau cacat, banyak situs mengizinkan Anda mengembalikan barang tersebut jika Anda tidak suka dengan apa yang Anda pesan.
Atau menjadi salah satu bagian orang yang mengikuti tren “mencoba tanpa membeli” dengan mengunggah foto pakaian mahal ke Instagram dengan tagar#OOTD (outfit of the day) dan kemudian mengembalikannya.
Ada biaya untuk waktu yang dihabiskan pelanggan ketika berbelanja online. Selain waktu yang dihabiskan untuk melihat-melihat katalog online sering kali Anda juga harus mengantre untuk menerima pembelian Anda.
Dengan pengiriman ke rumah, kemungkinan ada pekerjaan ekstra yang memakan waktu untuk pengemasan dan retur. Belanja online juga dengan mudah dapat membuat konsumen belanja berlebihan dikarenakan kemudahan dan strategi pemasaran yang cerdas.
Penjual online menghadapi masalah logistik yang serius ketika menawarkan layanan yang dapat secara mulus menghubungkan pengalaman pelanggan secara online dan offline. Ini terjadi karena sebagian besar menggunakan sistem yang dirancang hanya untuk operasi toko tradisional.
Ada biaya tambahan yang mengejutkan untuk menjadi pedagang semacam ini. Kami menemukan bahwa dengan menjadi penjual dengan layanan online dan offline akan sangat mungkin untuk menghilangkan keuntungan dari peningkatan penjualan yang didapat melalui internet.
Selain itu secara tidak sadar, meretur barang ke toko yang memiliki staf dan ruang penyimpanan, terlihat tanpa biaya, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Akuntan KPMG menemukan bahwa biaya penanganan retur tiga kali biaya pengiriman barang itu sendiri, bahkan di toko sekalipun.
Ini terjadi karena sistem di balik retur sangatlah kompleks dikarenakan bagaimana barang tersebut dikelola. Toko harus memiliki area aman untuk melindungi barang yang diretur dari kerusakan dan pencurian, misalnya.
Sebagian besar perusahaan sadar akan pentingnya pusat untuk menangani retur. Peran ini yang sering dijalankan oleh perusahaan logistik pihak ketiga, dan menanggung semua biaya. Jika belum pernah digunakan dan dalam kondisi baik, barang yang dikembalikan mungkin akan dijual kembali, tetapi kadang dijual dengan harga miring jika ada diskon musiman.
Jika barang rusak, mungkin ada biaya perbaikan. Barang tersebut bahkan mungkin dijual kepada pihak ketiga yang hanya menjual kelebihan stok di pasar sekunder, didonasikan ke badan amal atau dibuang ke pembuangan akhir. Semuanya melibatkan biaya transportasi, penanganan, dan transaksi.
Meskipun demikian, ini menimbulkan pertanyaan tentang berapa lama tren retur gratis dapat bertahan. Anda mungkin berpendapat bahwa pedagang memiliki uang yang cukup untuk menanggung biaya retur dan biarkan pemegang saham yang menanggung.
Tetapi, margin yang hilang itu mungkin juga dapat membayar gaji pegawai, atau diinvestasikan kembali dalam IT, barang baru dan pengembangan produk, layanan konsumen yang lebih baik dan dalam mencegah kerugian.
Hal tersebut juga dapat membiayai biaya untuk kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan. Kami menduga perubahan pasti terjadi ketika ada iming-iming retur gratis, tetapi akan menarik untuk melihat bagaimana para peritel memilih untuk menanggapi tantangan ini.
Full-Stack Developer | Data Scientist